A. Pendahuluan
Pendidikan dan pelatihan akan efektif dan efisien apabila dilaksanakan dengan pendidikan yang integral, dengan proses yang dimulai dari analisis kebutuhan diklat sampai evaluasi dan tindak lanjut. Sementara keberhasilan pelaksanaan diklat sangat ditentukan oleh beberapa unsur, seperti seperti: peserta diklat, Widyaiswara, kurikulum dan metode, media, penyelenggara maupun pengelola diklat.
Dalam pelaksanaan Diklat, peranan pengelola diklat (management of training) merupakan unsur dominan disamping unsur lainnya. Karena dalam penyelenggaraan kegiatan Diklat yang menjadi peserta diklat adalah orang dewasa yang telah memiliki karakteristik sendiri, maka para pengelola diklat perlu memiliki kompetensi dalam hal konsep dasar, agar dapat menerapkan pola pendidikan bernuansa pendidikan bagi orang dewasa dalam pelaksanaan diklat.
Untuk itu dalam makalah kami ini, kami berusaha menyampaikan konsep dasar Andragogi, asumsi dasar, prinsip-prinsip, karakteristik dan suasana belajar serta implikasinya dalam penyelenggaraan diklat untuk pemahaman kita bersama.
B. Pembahasan
1. Konsep Dasar
a. Pengertian
Andragogi adalah proses untuk melibatkan peserta didik dewasa ke dalam suatu struktur pengalaman belajar. Istilah ini awalnya digunakan oleh Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, di tahun 1833, dan kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat, Malcolm Knowles (24 April 1913 -- 27 November 1997).
Andragogi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Andre yang berarti “orang dewasa” dan “agagos” yang berarti membimbing. Jadi Andragogi adalah ilmu atau seni dalam membantu orang dewasa belajar, yang berarti mengarahkan orang dewasa.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembelajaran orang dewasa, kiranya diperlukan suatu kesamaan persepsi tentang defenisi orang dewasa, yaitu dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut:
Ø Defenisi Biologis. Seseorang menjadi dewasa secara biologis jika orang tersebut telah mencapai usia dimana ia dapat melakukan reproduksi, pada umumnya terjadi pada awal masa remaja.
Ø Defenisi Hukum. Seseorang menjadi dewasa secara hukum jika orang tersebut telah mencapai usia dimana undang-undang menyatakan ia dapat memiliki hak suara dalam Pemilu.
Ø Defenisi Sosial. Seseorang menjadi dewasa secara sosial jika orang tersebut telah mulai melaksanakan peran-peran orang dewasa, seperti peran kerja, peran pasangan suami isteri, peran orang tua, peran sebagai warga negara dll.
Ø Defenisi Psikologi. Seseorang menjadi dewasa secara prikologi jika orang tersebut telah memiliki konsep diri yang bertanggungjawab terhadap kehidupannya, yaitu konsep untuk mengatur dirinya sendiri (self directing), seperti mengambil keputusan sendiri.
Orang dewasa yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menyangkut defenisi orang dewasa secara sosial dan psikologi.
b. Asumsi Dasar
Berbicara tentang asumsi dasar pendidikan bagi dewasa meliputi aspek-aspek konsep diri orang dewasa, pengalaman orang dewasa, kesiapan belajar serta orientasi waktu dan arah belajar. Berikut ini diuraikan hal-hal tersebut di atas sebagai berikut:
1) Konsep diri orang dewasa
Yang dimaksud dengan konsep diri adalah keyakinan diri atau anutan diri. Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep diri menurut William D. Brook adalah seluruh persepsi tentang saya berhubungan dengan perasaan, keyakinan, nilai diri yang mencakup kemampuan, kelebihan dan kekurangan yang merupakan titik sentral dari kesadaran perilaku seseorang.
2) Pengalaman
Dalam hidupnya orang dewasa mempunyai banyak pengalaman yang sangat beraneka. Pada masa kanak-kanak pengalaman merupakan hal yang baru sehingga dalam proses belajar orang dewasa pengalaman dianggap sebagai sumber belajar yang sangat kaya.
3) Kesiapan Belajar
Kesiapan belajar bagi orang dewasa adalah berorientasi pada tugas dan pekerjaannya bukan pada pengetahuan semata. Kesiapan belajar adalah suatu kondisi dimana seseorang mampu belajar secara optimal dengan hasil belajar yang optimal.
4) Orientasi waktu dan arah belajar
Pelatihan dalam pendekatan andragogi lebih menitik beratkan pada proses pemecahan masalah ketimbang proses pemberian mata pelajaran.
2 Perbedaan Andragogi dan Paedagogi
Istilah paedagogi berasal dari bahasa yunani yaitu paid berarti “anak’ dan agagos yang berarti ‘memimpin’. Jadi, Paedagogi adalah suatu ilmu atau seni mengajar anak-anak. Pengertian secara khusus sebagai "suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak" dan paedagogi kemudian didefinisikan secara umum sebagai "ilmu dan seni mengajar".
Untuk memahami perbedaan antara pengertian paedagogi dengan pengertian andragogi yang telah dikemukakan, harus dilihat terlebih dahulu empat perbedaan mendasar, yaitu :
a. Citra Diri
Citra diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Pada saat anak itu menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Perubahan dari citra ketergantungan kepada orang lain menjadi citra mandiri. Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak. Dalam masa dewasa ini, seseorang telah memiliki kemauan untuk mengarahkan diri sendiri untuk belajar. Dorongan hati untuk belajar terus berkembang dan seringkali justru berkembang sedemikian kuat untuk terus melanjutkan proses belajarnya tanpa batas. Implikasi dari keadaan tersebut adalah dalam hal hubungan antara guru dan murid. Pada proses andragogi, hubungan itu bersifat timbal balik dan saling membantu. Pada proses paedagogi, hubungan itu lebih ditentukan oleh guru dan bersifat mengarah.
b. Pengalaman
Orang dewasa dalam hidupnya mempunyai banyak pengalaman yang sangat beraneka. Pada anak-anak, pengalaman itu justru hal yang baru sama sekali. Anak-anak memang mengalami banyak hal, namun belum berlangsung sedemikian sering. Dalam pendekatan proses andragogi, pengalaman orang dewasa justru dianggap sebagai sumber belajar yang sangat kaya. Dalam pendekatan proses paedagogi, pengalaman itu justru dialihkan dari pihak guru ke pihak murid. Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan paedagogi, karena itu, dilaksanakan dengan cara-cara komunikasi satu arah, seperti ; ceramah, penguasaan kemampuan membaca dan sebagainya. Pada proses andragogi, cara-cara yang ditempuh lebih bersifat diskusi kelompok, simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam proses seperti itu, maka semua pengalaman peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber belajar.
c. Kesiapan Belajar
Perbedaan ketiga antara paedagogi dan andragogi adalah dalam hal pemilihan isi pelajaran. Dalam pendekatan paedagogi, gurulah yang memutuskan isi pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses pemilihannya, serta kapan waktu hal tersebut akan diajarkan. Dalam pendekatan andragogi, peserta didiklah yang memutuskan apa yang akan dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya sendiri. Guru sebagai fasilitator.
d. Orientasi terhadap belajar
Pendidikan seringkali dipandang sebagai upaya mempersiapkan anak didik untuk masa depan. Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan masalah ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu, andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu pengalaman kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada saat ini. Untuk menemukan "dimana kita sekarang" dan "kemana kita akan pergi", itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Maka belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti "memecahkan masalah hari ini", sedangkan pada pendekatan pedagogi, belajar itu justru merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan suatu waktu kelak.
DR. Prasetya Irawan dalam bukunya Pengembangan Sumber daya manusia mengemukakan beberapa hal yang membedakan antara pendidikan tipe andragogi dengan pendidikan tipe Paedagogi sebagai berikut:
FAKTOR PEMBEDA | ANAK-ANAK | DEWASA |
Tingkat kemandirian | Sangat tergantung kepada orang lain | Tidak tergantung Kepada orang lain |
Pengalaman Hidup | Tak banyak berperan dlm proses belajar | Sangat penting sebagai sumber belajar |
Kesiapan untuk belajar | Tergantung pada guru dan kurikulum | Tergantung kepada Kebutuhan riil pekerjaan Sehari-hari |
Orientasi Belajar | Berorientasi pada materi belajar | Berorientasi pada skill yang harus dikuasai |
Pemanfaatan hasil belajar | Mungkin kelak berguna mungkin tidak | Hasrus bisa segera Dimanfaatkan dalam pekerjaan |
Motivasi belajar | Ditimbulkan faktor luar | Timbul dari dalam diri sendiri |
Iklim Belajar | Cenderung kaku dan formal | Cenderung santai tapi Saling menghormati |
Proses Perencanaan program Belajar | Dilakukan oleh guru saja | Dilakukan oleh Fasilitator dan peserta diklat |
Perumusan Tujuan Belajar | Selalu dilakukan oleh guru | Seringkali oleh ditentu- kan fasilitator bersama peserta Diklat |
Analisis kebutuhan Belajar | Selalu dilakukan oleh guru | Peserta diklat aktif menganalisis kebutuhan belajar mereka sendiri |
Sifat Materi Pelajaran | Teoritis dan disusun Secara linier | Teoritis, praktis dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan |
Evaluasi belajar | Dilakukan oleh guru | Dilakukan oleh Fasilitator dan Peserta Diklat |
3. Prinsip-prinsip Belajar Orang Dewasa
Beberapa hal yang dapat mempengauhi dan mendukung kemudahan dalam proses belajar sehingga mencapai hasil belajar yang diinginkan disebut prinsip-prinsip belajar. Adapun prinsip-prinsip belajar orang dewasa adalah sebagai berikut:
a. Readiness (kesiapan untuk belajar)
Peserta didik dapat mencapai hasil belajar yang baik, apabila sebelumnya pengajar menyiapkan kondisi peserta didik baik secara fisik maupun mental. Penyampaian kondisi fisik dapat terwujud dengan penyediaan ruangan dan sarana yang sesuai dengan tujuan pelatihan. Sedangkan penyiapan secara mental dapat terciptakan dengan berbagai cara yang dimaksudkan agar peserta merasa tertarik untuk belajar, merasa senang, tidak malu, tidak takut dan timbul semangat untuk belajar. Untuk itu maka perlu diberikan ice breaking sebelum masuk materi yang sebenarnya.
b. Sequencing (tahapan belajar)
Seseorang akan lebih mudah belajar jika materi pelajaran diberikan setahap demi setahap satu bagian dari yang mudah menuju ke yang sulit. Implikasinya dengan penyelenggaraan diklat adalah dalam penyusunan jadwal mata diklat harus setahap demi setahap dan saling melengkapi satu dengan yang lain. Tahapan pembelajaran tidak boleh bolak-balik sesuai dengan keinginan fasilitator.
c. Understanding (pengertian)
Seseorang peserta belajar dapat belajar dengan baik jika ia mengerti apa yang akan dipelajari, untuk apa ia belajar dan kemampuan apa yang akan dimiliki setelah ia selesai mempelajari pelajaran tertentu. Berkaitan dengan hal ini maka dalam awal pembelajaran perlu dijelaskan tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khususnya.
d. Participation (peran serta)
Belajar dapat terjadi melalui peran serta secara aktif dari orang yang belajar baik secara fisik maupun mental. Oleh karena itu tata ruang diklat perlu disusun agar dapat memberikan keleluasaan peserta diklat berperan aktif dalam proses pembelajaran. Seperti tempat duduk yang mudah dipindahkan, layout ruangan dalam bentuk letter U dan lain sebagainya.
d. Feed back (umpan Balik)
Belajar akan lebih semangat jika peserta mengetahui hasil belajar yang telah mereka capai mungkin sudah benar, belum benar atau salah ini semua harus mereka ketahui agar dapat memperbaiki. Feedback bagi orang dewasa perlu diperhatikan dengan niat yang tulus dan tidak mempermalukan didepan umum. Contoh dengan melalui latihan-latihan kemudian peserta diminta untuk mengomentari sendiri hasil yang telah diperoleh serta dimintai saran bolehkah diberikan masukan dari pihak lain.
f. Reinforcement (pemantapan)
Pemanfaatan merupakan hal yang penting dalam proses belajar. Pemanfaatan ini dapat dilakukan dengan remedial maupun dengan pujian. Kesuksesan dalam belajar juga merupakan pemanfaatan sekaligus pendorong untuk lebih berhasil dalam proses belajar berikutnya.
g. Motivasi belajar
Motivasi belajar akan timbul apabila terkait dengan kebutuhannya. Jika memperhatikan mengenai kebutuhan maka dapat mengacu pada kebutuhan yang dimiliki manusia yang dikemukakan oleh maslow. Fasilitator perlu mengkaitkannya dengan proses pembelajaran.
h. Persepsi
Belajar akan lebih efektif apabila terjadi usaha menghubungkan antara materi pelajaran dengan pengertian atau pemahaman yang sudah dimiliki oleh peserta. Sebagai contoh untuk menjelaskan pentingnya tujuan pembelajaran dalam proses pembelajaran maka widyaswara perlu menggali pesrta diklat tentang pentingnya tujuan dalam artian umum, kemudian pentingnya tujuan hidup dalam suatu kehidupan, baru fasilitator memproses dengan materi yang akan di sajikan yaitu tentang perlunya tujuan pembelajaran bagi seorang instruktur.
i. Application (penerapan)
Belajar akan lebih mudah jika peserta melihat relevansinya dan dapat diterapkan pada situasi kerja. Aplikasi merupakan salah satu hal yang harus terjadi dalam proses belajar setelah sebelumnya didahului dengan pengertian dan pemahaman atas pengetahuan dasarnya. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran perlu diciptakan metode pembelajaran yang lebih menitik beratkan pada penerapan-penerapan seperti metode praktek, simulasi, main peran dan lain sebagainya.
j. Transfer of learning (Alih Belajar)
Melalui tahap aplikasi, dimungkinkan dapat sampai pada tahap generalisasi yaitu pemanfaatan atau penggunaan hasil belajar untuk memudahkan belajar dalam keadaan lain.
4. Faktor yang mempengaruhi dan suasana belajar orang dewasa
Orang dewasa dalam belajar sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologik dan
psikologik.seperti:
a. Titik dekat penglihatan yang mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia
b. Titik jauh penglihatan juga mengalami penurunan
c. Makin bertambah usia, persepsi kontras warna cenderung ke arah merah daripada spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya kornea atau lensa mata. Sehingga cahaya yang masuk agak tersaring. Akibatnya ialah kurang dapat dibedakannya warna-warna kontras untuk alat peraga
d. Pendengaran atau kemampuan menerima suara juga agak berkurang. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal ini daripada wanita
e. Pembedaan bunyi, atau kemampuan untuk membedakan bunyi makin mengurang. Dengan demikian bicara orang lain yang terlalu cepat makin sukar ditangkapnya.
Keadaan psikologis orang dewasa dalam situasi belajar pada garis besarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Hal-hal yang menyangkut motivasi
b. Hal-hal yang menyangkut melupakan kebiasaan. Orang dewasa sering mempunyai kesulitan untukmemperbaiki kesalahan yang sudah menjadi kebiasaan mereka
c. Hal-hal yang menyangkut daya ingat yang buruk
d. Persoalan menyangkut penolakan terhadap perubahan. Orang dewasa mempunyai kesulitan untuk menerima gagasan, konsep, metode dan prinsip baru.
Mengingat faktor fisiologis dan psikologis orang dewasa maka perlu diciptakan suasana dalam proses pembelajaran sebagai berikut:
a. Kumpulan manusia aktif
Orang dewasa buka manusia pasif yang hanya mampu menerima gagasan, nilai-nilai maupun jawaban dari orang lain. Pada dasarnya adalah manusia kreatif yang mampu mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapinya secara kreatif. Oleh karena itu orang dewasa akan belajar dengan aktif apabila menemukan jawaban dan pemecahan masalah dalam mengembangkan gagasan dan teori-teori. Terkait dengan hal ini maka dalam proses pembelajaran peserta perlu dilibatkan secara optimal,karena belajar bagi orang dewasa bukan hanya belajar dengan fasilitator, namun antara peserta dengan peserta, antara peserta dengan panitia penyelenggara serta belajar dari pengalaman-pengalaman orang lain.
b. Suasana hormat menghormati
Orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadinya dihormati, dan lebih senang apabila diajak untuk berfikir dari pada diberikan teori-teori yang diberikan pada mereka. Orang dewasa tidak senang disalahkan, namun dihargai pendapat-pendapatnya.
c. Suasana harga menghargai
Belajar bagi orang dewasa subyektif dan unik, maka lepas benar atau salah segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilai perlu dihargai.
d. Suasana saling percaya
Perlu saling percaya dan mempercayai antara pengajar dan peserta dan perlu memiliki kepercayaan pada diri sendiri. Suasana ini harus diciptakan dalam proses pembelajaran dengan difasilitasi oleh fasilitator .
e. Suasana tidak mengancam. Peserta diklat harus merasakan rasa aman dalam situasi belajarnya.
f. Situasi penemuan diri, dengan diberikan lebih banyak kesempatan untuk menemukan diri sendiri lewat bimbingan fasilitator, kebutuhan pemecahan masalah, mengetahui kekuatan dan kelemahannya.
g. Suasana keterbukaan. Terbuka untuk mengungkapkan diri dan terbuka untuk mendengarkan orang lain
h. Suasana membenarkan perbedaan. Dengan latar belakang pendidikan, kebudayaan dan pengalaman masa lampau, peserta diklat dapat investasi berharga justru karena perbedaannya
i. Suasana untuk mengetahui hak berbuat salah. Kesalahan dan kekeliruan adalah hal wang wajar dalam belajar
j. Suasana membolehkan keraguan. Pemaksaan untuk menerima suatu teori sebagai yang paling tepat dan paling benar akan dapat menghambat proses belajar
k. Evaluasi bersama dan evaluasi diri. Orang dewasa selalu ingin mengetahui kekuatan dan kepemahan dirinya,. Untuk itu evaluasi bersama untuk seluruh anggota dirasakan berharga untuk bahan renungan.
5. Implikasi penerapan andragogi dalam pendidikan dan latihan
Fasilitator sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran orang dewasa. Fasilitator memasuki kelas dengan bekal sejumlah pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan dan pengalaman ini seharusnya melebihi dari yang dimiliki oleh peserta. Seorang fasilitator dengan pengetahuan dan pengalamannya itu tidaklah cukup untuk membuat peserta untuk berperilaku belajar dalam kelas melainkan sikap fasilitator sangatlah penting. Seorang fasilitator bukan merupakan "pemaksa" untuk terjadinya pengaruh terhadap peserta, namun pengaruh itu timbul karena adanya keterlibatan mereka dalam kegiatan belajar. Untuk mengusahakan adanya perubahan, fasilitator hendaknya bersikap positif terhadap warga belajar.
Sikap seorang fasilitator mempunyai arti dan pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku warga belajar dalam kegiatan pembelajaran. Umumnya fasilitator yang memiliki daya tarik akan lebih efektif dari pada fasilitator yang tidak menarik. Sikap menyenangkan yang ditampilkan oleh fasilitator akan ditanggapi positif oleh peserta, pada gilirannya berpengaruh terhadap intensitas perilaku belajarnya. Sebaliknya, fasilitator yang menampilkan sikap tidak menyenangkan akan dinilai negatif oleh peserta, sehingga mengakibatkan kegiatan belajar menjadi tidak menyenangkan.
Ada beberapa hal yang dianggap penting dimiliki oleh fasilitator dalam proses interaksi belajar yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya warga belajar, yaitu :
1). Empaty
2) Kewajaran, yaitu bersikap jujur, apa adanya, terus terang dan membuka diri serta memberikan respon yang tulus
3) Respek, berpandangan positif terhadap peserta penuh kehangatan, penuh pengertian, tisak segan memberikan penghargaan atas perasaan, pengalaman dan kemampuan peserta
4) Komitmen dan kehadiran, fasilitator terlibat penuh denga peserta dalam segala keadaan
5) Mengakui kehadiran orang lain, tidak meninjolkan diri, memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengungkapkan diri, bergaul dengan peserta dan mengakui keberadaan mereka
6). Membuka diri, menerima orang lain tanpa ukuran, konsep dan pengalaman diri sendiri
7) Tidak menggurui, tidak menjadi ahli, tidak memutus bicara, tidak berdebat, tidak deskriminatif dan berpenampilan simpatik.
Daftar Pustaka
Aguston, M. Strategi belajar dan pembelajaran (modul Diklat Calon Widyaiswara). Lembaga Administrasi Negara.Republik indonesia 2005.
Basleman Anisah. DR. Prof. Pendidikan Orang Dewasa (modul Diklat Calon Widyaiswara). Lembaga Administrasi Negara.Republik Indonesia 2005
Mustopadidjaya, dkk. Konsep Dasar Andragogi. Bahan Diklat bagi Pengelola Diklat. Lembaga Administrasi Negara.Republik Indonesia. 2003.
Mustopadidjaya, dkk. Pendekatan Andragogi. Bahan Diklat bagi Penyelenggara Diklat. Lembaga Administrasi Negara.Republik Indonesia. 2003.
Supriadi Mpd.Artikel Andragogi (Sebuah Konsep Teoritik). Topik: Pembelajaran Orang Dewasa Tanggal: 21 Maret 2006
Uno, Hamzah B. Model Pembelajaran, menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif, Bumi Aksara, 2007